Menunda aktivitas adalah salah satu penya-kit yang sering tidak disadari. Padahal, setiap kali seseorang menunda suatu aktivitas yang telah direnca-nakan pada waktu yang juga direncanakan berarti hanya menumpuk kesulitan bagi dirinya. Banyak se-kali contoh kecil tentang hal ini.
Misalnya, ada seorang ayah yang sedang asyik mengetik di komputer saat isterinya sedang berangkat ke pengajian. Di rumah ia bersama se-orang anaknya yang masih berumur tiga tahun. Anak itu memanggil dia. Sang ayah mengatakan kepadanya ‘Sebentar, yaa…, ayah tanggung nih. Makalah harus selesai sekarang ! Sebentar lagi akan ada orang yang mengambilnya.” Tidak lama kemu-dian, anak itu memanggilnya lagi. Namun, ayahnya tidak mengindahkannya, dan menjawab dengan uca-pan yang sama. Di luar sangkaan, anak itu pun tidak memanggil-manggil lagi. ‘Nah, begitu donk. Anak ayah ‘kan shalih,’ ujarnya sambil jari-jari tangannya terus mengetuki huruf demi huruf. Setelah sekian lama, ayah anak tadi beranjak dari duduknya. Apa yang terjadi? Saat ia menghampiri anaknya, ternyata rambut anaknya itu penuh dilumuri cream rambut . Satu wadah cream rambut orang itu ludes dipakai anaknya. Belum lagi, kayu putih pecah, berceceran di lantai. Begitu pula lantai menjadi putih dilumuri bedak bayi yang berantakan. Ia pun akhirnya memandikan anak itu yang sebenarnya sudah mandi. Lalu, ia membersihkan dan mengepel lantai. Waktu menyelesaikan makalah pun malah tertunda. Kesulitan baru muncul di depan mata. Penyebabnya, me-nunda perbuatan yang sebenarnya hanya membantu si anak mengambilkan apa yang dia minta. Ada sebagian orang, mudah-mudahan Anda bukan salah satunya, masih menganggap sepele menunda aktivitas yang dapat dilakukan. Padahal, kesulitan akan semakin menumpuk seiring dengan banyaknya aktivitas yang ditangguh-tangguhkan.
Menunda akitivitas berarti menumpuk kesu-litan dan pekerjaan. Andaikan saja Anda seorang mahasiswa. Ujian mata kuliah Biologi Anda diseleng-garakan pada hari Kamis yang akan datang. Padahal, sekarang sudah hari Senin. Bahan ujian pun cukup banyak, satu buku. Anda boleh jadi kadang-kadang mengatakan pada diri Anda sendiri : ‘Wah, baru juga hari Senin. Nanti saja, hari selasa’. Besoknya, Anda berkata lagi secara monolog pada batin sendiri : ‘Oh, bagusnya besok sajalah, malam Kamis. Supaya pada saat ujian masih hangat. Biologi ‘kan banyak hapa-lannya ! Begadang juga nggak apa-apa. Wong, su-dah biasa kok. Toh, waktu ujian statistika nilainya juga nggak jelek-jelek amat. Padahal waktu itu belajar hanya semalam. Biasa, SKS, alias sistem kebut semalam tea ! Produktivitas saya ‘kan tinggi !” Malam Kamis pun tiba. Anda sudah bersiap-siap belajar untuk ujian besok. Namun, ternyata, diluar harapan Anda, listrik padam semalaman. Subhanallah Anda tidak dapat belajar. Ujian pun di-lakoni dengan tangan kosong, tanpa persiapan apapun. Boleh jadi, Anda memang memiliki daya kerja yang luar biasa. Namun, manusia ini lemah. Tidak tahu secara pasti apakah pada malam Kamis listrik tidak akan padam. Bila pada hari Senin atau Selasa tadi Anda punya kesempatan, atau bahkan belajar saat itu sudah merupakan agenda Anda, lalu Anda tidak menunda-nunda aktivitas tersebut, boleh jadi ceritanya akan berbeda.
Atau barangkali Anda seorang aktivis dakwah. Suatu waktu ada acara Daurah Dirasah Islamiyyah. Anda salah satu pembicaranya. Bayangkan, apa yang terjadi bila Anda memutuskan untuk menunda keberangkatan Anda mengisi acara itu besok. Padahal, acaranya hari ini. Saat Anda datang, peserta sudah tidak ada. Panitia pun telah pada pulang. Yang tersisa barangkali hanyalah spanduk di depan ruangan yang lupa tidak dibereskan panitia. Acara kemarin pun entah siapa yang mengisi.
Begitulah setiap perbuatan yang semestinya dilakukan tetapi diulur-ulur waktu pelaksanaannya. Bila kebiasaan ini terus dilakukan berarti sebenarnya Anda tengah menanam badai kesulitan, sadar atau tidak.
Terdapat beberapa hal yang biasanya men-jadikan seseorang menunda-nunda aktivitas yang sebenarnya dapat ia lakukan. Diantaranya adalah :
1.Thulul Amal.
Anda boleh jadi mudah-mudahan tidak termasuk orang yang sering mengatakan ‘Ah, nanti saja lagi ah. Nanti malam ‘kan masih ada waktu.’ Atau, mengungkapkan pernyataan lain dengan mengangankan nanti masih ada waktu. Bila demikian, Anda termasuk orang yang memiliki sifat panjang angan-angan. Imam Al Ghazali menyebutnya sebagai thulul amal. Dengan sifat demi-kian yang ada dalam diri Anda, peluang besar kebiasaan menunda-nunda aktivitas kebaikan pun melekat. Sebab, dengan thulul amal seseorang merasa bahwa ia akan masih hidup pada waktu yang akan datang. Padahal, realitasnya kematian itu selalu siap menjemput kita.
Tengok saja, pada awal bulan Maret 2001 yang lalu, terdapat seorang dosen yang meninggal saat sedang memberikan kuliah di depan mahasiswanya. Kita dapat menduga bahwa beliau sebenarnya tidak berniat untuk meninggal saat itu. Tahu bahwa ia akan meninggal pun tidak. Kasus lain, di Ambon. Pada minggu kedua Maret 2001 kemarin, ada berita bahwa seorang ustadz di sana disalib oleh orang Kristen. Sebelumnya, kita yakin ustadz tersebut tidak bercita-cita disalib. Tidak tahu akan diserang. Allah swt. tidak memberitahukan kepadanya bahwa nyawa beliau akan dicabut. Banyak sekali contoh-contoh nyata yang ada di depan pelupuk mata kita tentang hal ini. Walhasil, panjang angan-angan merasa akan hidup terus merupakan penyakit. Bagaimana tidak, ‘keyakinan’ demikian ini bertentangan dengan realitas kematian yang senantiasa datang menje-lang setiap saat.
Berdasarkan hal ini, thulul amal tersebut mutlak dimusnahkan dari diri kita. Caranya? Ingat kematian ! Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw. pernah bersabda kepada para sahabatnya :
“Jika engkau telah berdiri di dalam shalatmu, maka lakukanlah shalat sebagai shalat seorang yang akan meninggalkan“ (HR. Ahmad)
Lakukan shalat seakan-akan shalat itu shalat kita terakhir ! Ternyata, kunci yang diberikan oleh Rasulullah saw. tersebut amatlah jitu untuk meng-hilangkan thulul amal dalam segala hal, bukan sekedar untuk shalat saja. Ujungnya, melenyapkan kebiasaan menunda-nunda aktivitas kebaikan.
Suatu kali bukan mustahil kita shalat tidak khusyu. Namun, hal ini dapat segera dilenyapkan saat itu juga. Teknisnya, sadarlah akan kematian. Tanamkan keyakinan, jangan-jangan shalat ini adalah shalat kita yang terakhir. Boleh jadi, pada waktu adzan berikutnya berkumandang kita tidak lagi ada di dunia. Amat rugilah bila shalat yang boleh jadi yang terakhir ini tidak dilaksanakan dengan khusyu. Karenanya, kita pun akan terdorong untuk khusyu melakukannya.
Bila Anda suatu waktu harus menghadiri pengajian rutin, semacam halqah. Hujan deras. Kilat dan guntur pun menyertainya. Wajar bila saat itu Anda enggan berangkat menghadirinya dengan alasan di hati ‘Ini ‘kan alasan syar’iy, hujan!’ Namun, bila saat itu Anda berpikir bahwa jangan-jangan ngaji sekarang merupakan ngaji terakhir bagi Anda. Dada Anda pun berbicara ‘Ya, Allah, boleh jadi pengajian minggu depan aku sudah menghadap-Mu. Dunia sudah kutinggalkan.” Akhirnya, Anda pun memiliki dorongan kuat untuk berangkat di tengah derasnya hujan. Toh, ada payung atau daun pisang untuk menutupi badan dari kehujanan.
Boleh jadi pada suatu saat anak Anda yang berjumlah tiga semuanya sakit. Pada saat yang sama istri Anda tercinta pun tergolek di rumah sakit. Sementara itu, Anda harus menghadiri acara menyangkut urusan umat Islam yang tidak dapat digantikan oleh siapapun. Tentu saja, sangat ma-nusiawi bila Anda tidak menghadirinya. Namun, bila urusan keluarga ditangani dengan minta ban-tuan teman-teman seperjuangan yang sebenarnya saudara juga di sisi Allah swt.; seraya ingat dan menyatakan di hati dengan penuh kesungguhan ‘Ya, Allah Pemilik Kami, anak dan istriku insya Allah sudah ada yang menemani. Kini aku harus menunaikan kewajibanku. Boleh jadi, ini adalah kesempatanku yang terakhir bagiku untuk turut memberikan pendapat begi kebaikan Islam dan umatnya. Siapa tahu engkau memanggilku besok atau lusa.” Setelah itu, Anda pun berangkat menunaikan kewajiban dan janji Anda dengan penuh tawakkal kepada Allah swt. Dengan menggunakan resep seperti ini, insya Allah dengan pertolongan-Nya, Anda akan dapat melenyapkan thulul amal. Anda pun tidak lagi menunda-nunda aktivitas kebaikan apapun. ‘Jangan-jangan ini adalah kesempatanku yang terakhir,” itulah kali-mat yang urgen dipatrikan terus dalam dada dan pikiran kita.
2. Lebih percaya pada dugaan dibandingkan pada realitas. Mungkin saja Anda adalah se-orang yang memiliki produktivitas tinggi. Artinya, dalam jangka waktu yang sebentar dapat menye-lesaikan suatu pekerjaan dengan tuntas. Padahal, bila orang lain yang melakukannya diperlukan waktu yang jauh lebih lama. Rasa percaya diri seperti ini bagus. Dan perlu dimiliki. Hanya saja, bila hal tersebut menyebabkan Anda menunda-nunda suatu aktivitas yang telah direncanakan dan sebenarnya dapat dilakukan berarti ada se-suatu yang keliru pada diri Anda. Rasa percaya diri yang tinggi bukanlah alasan untuk menunda perbuatan. ebaliknya, rasa percaya diri tersebut haruslah merupakan daya pendorong bagi Anda untuk berbuat dan beramal lebih banyak.
Sikap bahwa Anda dapat menuntaskan aktivitas dengan sistem SKS (sistem kebut sema-lam) merupakan prasangka (zhann). Sementara, adanya qadla dari Allah swt. itu pasti (qath’iy) dan merupakan realitas. Qadla dapat datang kapan saja, bersifat acak, tergantung perintah Allah Dzat Maha Berkehendak. Katakan saja, Anda akan mengisi pengajian Kamis pagi. Sudah direncana-kan persiapannya pada Rabu siang. Anda pun menangguhkannya sampai malam. Apakah dijamin listrik tidak padam semalaman? Apakah pasti tidak ada aktivitas dadakan lain yang justru memerlukan tenaga Anda malam itu? Apakah tidak mungkin malam Kamis tersebut Anda diare yang memaksa Anda kedokter dan semalaman harus istirahat? Apakah malam tersebut dijamin tidak ada persoalan yang menuntut penyelesaian malam itu juga menyangkut anak atau istri? Semua itu tidak dapat dipastikan, wallahu a’lam. Qadla dari Allah swt. tidak ada yang tahu sebelum terjadi. Andaikan Anda tidak mematuhi jadual Anda sendiri dan menangguhkannya menjadi malam Kamis berarti Anda lebih percaya pada dugaan (dalam hal ini sangkaan akan menjalani malam Kamis dan lancar melakukan aktivitas dimaksud) dibanding-kan dengan pada realitas (dalam hal ini adanya qadla dari Allah swt. yang bersifat acak waktu-nya). Bila demikian, mengunggulkan sesuatu yang zhann dibandingkan dengan sesuatu yang qath’iy merupakan tindakan yang bertentangan dengan nalar sehat. Tidak sesuai dengan ‘aqliyah shahihah.
Penting dicamkan, suatu waktu pernah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah :
“Wahai Rasulullah, shadaqah apakah yang pa-ling besar pahalanya?” Beliau segera menjawab : “Yaitu engkau shadaqah sedangkan engkau masih sehat, suka harta, takut miskin dan masih ingin kaya. Dan janganlah engkau menunda-nunda sehingga bila nyawa sudah sampai di tenggorokan (sekarat) maka engkau barulah berkata ‘Untuk si anu sekian dan untuk si anu sekian padahal harta itu sudah menjadi hak si anu (ahli warisnya).” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Begitu juga Rasulullah saw. bersabda :
“Bersegeralah kamu sekalian untuk melakukan amal-amal shalih, karena akan terjadi suatu bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita dimana ada seseorang pada waktu pagi ia beriman tetapi pada waktu sore ia kafir; pada waktu sore ia beriman namun pagi harinya ia kafir; ia rela menukar agamanya dengan sedikit keuntungan dunia.” (HR. Imam Muslim)
Lebih detail lagi, Baginda Nabi saw. menegaskan dalam sabdanya :
“Bersegeralah kamu sekalian untuk beramal sebelum datangnya tujuh hal; apakah yang kalian nantikan kecuali kemiskinan yang dapat melupakan, kekayaan yang dapat menimbulkan kesombongan, sakit yang dapat mengendorkan, tua renta yang dapat melemahkan, mati yang menyudahi segala-galanya, atau menunggu datangnya Dajjal padahal ia merupkan sejelek-jelek yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat padahal kiamat adalah sesuatu yang amat berat dan sangat menakutkan.” (HR. Turmudzi)
Bukan hanya itu, pengalaman menunjukkan bahwa menunda-nunda aktivitas akan berujung pada 4 muara. Pertama, aktivitas itu menjadi ti-dak dilaksanakan. Kedua, aktivitas tersebut tetap dilakukan tetapi tidak optimal; ‘selesai dengan keterpaksaan’. Ketiga, hal lain yang sebenarnya dapat dilakukan menjadi tidak bisa dikerjakan. Dan keempat, orang yang melakukannya akan semakin merasa beban yang dipikulnya bertambah berat. Wajar, sebab menunda aktivitas berarti menumpuk kesulitan. Ini berarti mengumpul-ngumpul beban.
Untuk itu, kita sebagai muslim terlebih-lebih pengemban dakwah tidak boleh mengunggulkan zhann di atas qath’iy. Selain itu, kita harus terus sadar bahwa kita ini lemah. Sangat terbatas. Saking lemah dan terbatasnya, sampai-sampai nyamuk yang demikian kecil dapat mengalahkan dan menjerumuskan seseorang pada penyakit demam berdarah yang memerlukan perawatan intensif. Di atas semua itu, yakinlah bahwa qadla Allah swt. senantiasa siap mendatangi kapan pun dalam berbagai bentuknya.
3. Menjadikan orang lain sebagai tolok ukur. Tidak sedikit orang tidak melakukan sesuatu di-karenakan perkara sepele : orang lain tidak mela-kukan. ‘Si anu juga tidak membaca al-Quran hari ini, saya juga tidak akan membaca, ah!” Begitu kira-kira gumam seseorang yang menjadikan orang lain sebagai tolok ukur. Atau pernyataan ‘Alhamdulillah, si anu juga belum mengerjakan. Padahal dia ‘kan termasuk orang paling rajin. Saya juga nanti aja ah mengerjakannya”. Dan ungkapan senada lainnya. Sikap demikian sebe-narnya merupakan cerminan sikap orang yang ‘tidak mandiri’. Dia menyangka bahwa kebahagia-an atau kecelakaan dirinya ditentukan oleh orang lain. Padahal, Allah swt. memberitahukan sebalik-nya. Sebab, didalam melakukan kebaikan dan menjauhi kemaksiatan yang akan dihisab adalah diri sendiri atas dasar perbuatan sendiri. Setiap orang akan dihisab sendiri-sendiri. Banyak sekali firman Allah swt. menjelaskan hal ini :
وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا
“Tidaklah suatu jiwa menanggung dosa orang lain.” (QS. al-An’am [6] : 164)
كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Setiap orang bertanggung jawab terhadap apa-apa yang ia lakukan.” (QS. ath-Thur [52] : 21)
Bahkan, kelak pada hari kiamat semua orang yang paling dekatpun akan lari tunggang langgang. Alih-alih mereka memberikan perto-longan malahan sibuk memikirkan hisab Allah swt. pada dirinya masing-masing. Pencipta kita berfirman :
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ (34) وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ (35) وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ (36) لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ (37)
“Pada hari ketika manusia lari dari saudara-saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. ‘Abasa [80] : 34 – 37)
Bila demikian keadaannya maka siapapun yang menyadari hal ini tidak akan lagi menggan-tungkan perbuatannya kepada melakukan atau tidaknya orang lain. Sebab, hal ini ia sadari betul tidak akan memberikan kebaikan sedikit pun. Sebaliknya, justru yang menanggung kerugian adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Karena-nya, ia akan menyatakan dalam dirinya ‘Orang lain shalih atau tidak, saya harus shalih ! Orang lain hari ini membaca al-Quran atau tidak, saya harus membaca ! Orang lain tahajjud atau tidak, saya harus tahajjud ! Orang lain berdakwah atau tidak, saya harus berdakwah ! Orang lain ber-juang membela Islam dan umatnya ataukah ti-dak, saya harus berjuang ! Orang lain menunai-kan kewajibannya ataukah tidak, saya harus menunaikannya ! Orang lain menjauhi maksiyat ataukah tidak, saya harus menjauhinya !” Begitu-lah sikap mandiri dan tegar dalam dadanya.
Siapapun Anda yang mengidap penyakit menunda-nunda amal kebaikan dikarenakan ‘orang lain’, mau tidak mau harus memiliki sikap seperti itu. Bila tidak, kebiasaan menunda aktivi-tas kebaikan terus akan melekat. Bahkan, bukan mustahil semakin mengarat. Sebaliknya, bila hal ini telah dilekatkan pada diri Anda, insya Allah dengan pertolongan-Nya kebiasaan buruk itu akan lenyap segera. Hanya saja, yang dapat mengubahnya bukan orang lain melainkan diri Anda sendiri. Sekali lagi, Anda sendiri, bukan orang lain ! Mengharapkan perubahan pada diri Anda dalam persoalan ini kepada orang lain sama seperti bercita-cita pergi ke bulan dengan me-nunggang kerbau. Dengan tetap berusaha diser-tai permohonan kepada Allah Dzat pemutar balik hati, insya Allah perubahan demikian akan dapat dilakukan.
4. Malas. ‘Waduh, lagi malas ah !’ Itulah salah satu ungkapan yang berujung pada ditundanya suatu aktivitas. Padahal, malas itu merupakan musuh bagi seorang muslim. Penyebabnya adalah hawa nafsu diri sendiri atau godaan syaithan. Untuk itu rasa malas tersebut dapat dilenyapkan melalui dua hal. Pertama, mengesampingkan rasa malas ter-sebut, lalu berupaya keras untuk melakukan akti-vitas yang harus dilakukan tersebut. Dalam hal shalat malam, Rasulullah saw. mengajari kita untuk bangun malam dengan berdo’a. Lalu, ber-segara mengambil air wudlu. Setelah itu boleh jadi rasa kantuk masih ada. Namun, setelah melaku-kan shalat, insya Allah ngantuk dan rasa malas tahajjud tersebut sirna.
Inti dari apa yang diajarkan Nabi seperti itu adalah berupaya keras mengenyampingkan rasa malas dan terus mengusahakan untuk melaksana-kannya. Bila masih awal-awal, hal ini terasa berat. Namun, setelah menjadi kebiasaan merupakan suatu perkara ringan. Satu contoh kecil, bangun jam lima pagi bagi banyak orang terasa berat. Tapi, bagi mereka yang biasa menunaikan shalat subuh merupakan hal yang sangat ringan sekali. Begitu juga dalam aktivitas lainnya. Karenanya, bila Anda suatu waktu malas berangkat halqah padahal memang jadualnya, cara termudah adalah berangkatlah ! Jangan turuti malas ter-sebut ! Anda yang sedang menyelesaikan skripsi, misalnya, malas mengerjakannya padahal sudah Anda jadualkan. Jalan keluar untuk lepas dari jeratannya adalah : kerjakanlah ! Begitu juga, Anda sebagai pengemban dakwah yang harus mendatangi binaan Anda seringkali malas men-datanginya. Jangan perturutkan hal itu, apalagi menggantinya dengan tidur-tiduran. Segera ba-ngun, berpakaian rapi, bulatkan tekad, tawakkal kepada Allah swt., lalu berangkatlah demi per-juangan Islam ! Bila hal demikian dilakukan terus menerus setiap kali rasa malas datang, yakinlah Allah swt. akan membantu kita dalam mengikis malas tersebut.
Kedua, berlindung kepada Allah dari sikap malas. Syaithan seringkali menggoda manusia dengan bentuk rasa malas. Sementara itu, syai-than tidak diketahui juntrungan-nya. Muncul per-tanyaan, bagaimana cara mengunggulinya?
Ada cerita, seseorang yang dikejar anjing. Dia berupaya untuk lari, ternyata anjing terus mengejar. Dia mencoba membungkuk mengambil batu, anjing pun siap menerkam. Orang itu akhir-nya bingung. Terlintaslah di benaknya untuk me-manggil si empunya anjing tersebut. Pemiliknya pun datang, dan dengan entengnya anjing itu disuruh masuk kedalam halaman berpagar. Inilah perumpamaan yang diungkapkan Imam Al Ghazali untuk menghadapi syaithan, yaitu dengan ber-lindung kepada Penciptanya, berlindung kepada Allah Rabbul ‘Alamin. Dengan demikian, bagi siapapun —juga Anda— penting senantiasa berlin-dung setiap saat dari rasa malas ini. Bahkan Nabi saw. mengajari umatnya untuk senantiasa berdoa sebagai berikut :
“Ya, Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sikap lemah dan malas; aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan bakhil; dan aku berlindung kepada-Mu dari bergelimang hutang dan dikuasai oleh orang lain.”
Dengan pertolongan Allah swt., melalui berupaya tidak memperturutkan rasa malas dan terus berlindung kepada-Nya dari kemalasan setiap saat, niscaya aktivitas yang tadinya sering ditangguh-tangguhkan karena malas berubah menjadi amal-amal kebaikan yang bergelan-tungan.
5. Aktivitas yang ditunda sangat mungkin di-sebabkan ketidaktahuan tentang apa yang harus dikerjakan. Anda barangkali pernah me-miliki waktu luang. Tidak ada aktivitas yang dilakukan. Sebenarnya Anda dapat beraktivitas. Namun, dikarenakan tidak tahu apa yang seharus-nya dikerjakan akhirnya Anda hanya sekedar melamun, membayangkan masa lalu, atau tidur-tiduran yang akhirnya tidur beneran juga.
Bila penyebab tertundanya amal itu adalah hal di atas maka langkah yang penting ditempuh adalah melakukan perencanaan. Bila kita mengkaji sirah Rasulullah saw. kita akan menangkap bahwa hidup beliau saw. penuh dengan perencanaan, yang tentu saja khusus beliau dibimbing wahyu. Sebagai misal saja, bagaimana beliau merenca-nakan hijrah dari Makkah ke Madinah. Pertama kali, diterimalah bai’at ‘aqobah kedua dari para pemimpin Madinah. Setelah itu, dipersiapkan kaum muslimin secara berkelompok berangkat sembunyi-sembunyi menuju Madinah. Akhirnya, beliau bersama dengan Abu Bakar. Sesampainya di Madinah, nampak pula planning yang beliau jalani.
Belum lagi Allah swt. sangat mengedepan-kan persoalan waktu. Setiap orang yang menapaki waktu berada dalam kerugian. Mereka yang tidak rugi hanyalah mereka yang beriman, bermal shalih, saling menasihati dalam kesabaran dan ketaqwaan. Begitu dinyatakan dalam surat al-‘Ashr. Padahal, persoalan waktu berarti persoalan perencanaan. Bahkan, secara lebih spesifik Allah swt. berfirman :
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. (QS. Alam Nasyrah [94] : 7)
Satu hal yang mutlak dilakukan bagi Anda yang sering menunda pekerjaan yang harus di-lakukan —dan berkeinginan kuat untuk mengubah sikap tersebut— adalah membuat perencanaan. Sebagai alat bantu, Anda dapat menggunakan buku agenda. Anda perlu memiliki agenda bulanan, mingguan dan harian. Rencana-rencana yang akan dan harus Anda lakukan di bulan tertentu dicatat dalam agenda bulanan. Setiap awal minggu, katakan saja malam Senin, Anda membuat rencana yang akan atau harus Anda lakukan di minggu bersangkutan. Dan setiap hari, biasanya sebelum tidur atau setelah shalat subuh Anda membuat agenda tentang apa saja yang akan atau harus Anda kerjakan pada hari ter-sebut. Lengkap dengan jamnya. Setelah itu, komitmen Anda harus kukuh untuk menjalaninya. Bila tidak, perencanaan yang dilakukan hanyalah tindakan main-main yang hanya menghabiskan energi saja. Dalam membuat rencana harian tentu saja minimal mencakup kebutuhan utama sehari-hari seperti mencuci pakaian (kalau mencuci sendiri), aktivitas menyangkut ilmu (menuntut ilmu dan menyebarkannya), berdakwah, mende-katkan diri kepada Allah swt. dengan berbagai bentuk ibadah (seperti shalat, shaum sunnat, membaca al-Quran, dzikir), introspeksi diri (muhasabah), mengetahui permasalahan umat harian, memenuhi hak sesama muslim di masya-rakat (seperti menjenguk yang sakit, menghadiri undangan wajib), dan mencari nafkah bagi para wajib nafkah yang tidak punya nafkah. Tentu saja, tiap orang memiliki pola perencanaan harian yang berbeda. Khusus bagi pengemban dakwah, aktivitas berdakwah mutlak ada dalam setiap rencana hariannya. Merencanakan aktivitas ini adalah sangat urgen. Benar kata orang, gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan.
Hal lain yang penting mendarah daging dalam diri setiap muslim —terlebih-lebih pengem-ban dakwah— adalah keyakinan, seperti kata Nabi saw., ad-dunnya mazro’atul akhirah : dunia ini merupakan ladang bagi akhirat. Dengan landasan ini kita akan memandang segala sesuatu yang ada di hadapan kita sebagai ladang ibadah yang akan dipanen kelak di akhirat. Yang terpikir dibenak kita adalah bagaimana segala perkara yang dihadapi kelak dapat dituai hasilnya di sisi Allah Rabbul ‘Izzati.
Berlandaskan hal ini Anda dan setiap mus-lim ketika melihat duri atau batu menghalangi jalan, sebagai misal, akan berpikir bagaimana supaya hal ini dapat menjadi buah di akhirat. Ujungnya, Anda pun bersegera menyingkirkan penghalang tersebut seperti yang diperintahkan oleh Nabi saw. Begitu juga ketika Anda bertemu dengan seseorang, yang terbayang adalah bagaimana supaya pertemuan tersebut kelak di akhirat membuahkan hasil. Anda pun berupaya untuk mencapainya dengan menyampaikan Islam kepadanya sesuai kemampuan Anda, bahkan kalau mungkin dia diupayakan untuk menjadi bagian integral dari barisan pejuang dan penegak Islam dan pembela umatnya. Tidak ketinggalan, ketika di hadapan Anda terdapat kemungkaran benak Anda pun menyatakan ‘Aku harus mence-gahnya agar kelak buahnya akan kupetik di akhirat. Begitulah Nabi memerintahkan’. Seraya Anda pun mencegah kemungkaran tersebut. Se-baliknya, ketika didepan Anda terdapat orang-orang yang berbuat kebaikan, Anda pun ingin menjadikan apa yang ada di depan mata tersebut sebagai ladang bagi akhirat. Realisasinya, Anda pun turut melakukan amal kebaikan seperti yang mereka lakukan. Anda meneladani perbuatan ma’ruf tersebut. Begitu seterusnya. Andai saja prinsip demikian dijadikan pegangan, bantuan dan pertolongan Allah swt. untuk memusnahkan kebiasaan menunda-nunda aktivitas kebaikan akan Anda dapatkan. Yakinlah ! Bukankah, Allah Maha Pengasih menyatakan bahwa Dia tidak akan mengubah segala apa yang ada pada diri suatu kaum hingga kaum itu sendiri merubah apa yang ada pada dirinya?
6. Aktivitas yang melebihi kapasitas diri sen-diri tidak jarang mengakibatkan ditundanya perbuatan. Hal ini dapat dengan mudah dipaha-mi, sebab manusia memang lemah. Untuk meng-hindari hal ini, Anda yang berkeinginan melaku-kan segala sesuatu sekaligus perlu mengerem sedikit bila memang hal tersebut di luar kemam-puan Anda. Jika tidak, semuanya akan serba tanggung, serba setengah-setengah. Selain keter-batasan diri sendiri, waktu yang diperuntukkan Allah swt. bagi manusia juga amatlah sedikit. Bayangkan, sehari hanya 24 jam. Tidak lebih. Padahal, kewajiban yang harus ditunaikan demi-kian banyak. Satu-satunya cara yang mau tidak mau ditempuh adalah menetapkan skala prioritas.
Dalam menentukan skala prioritas ini tolok ukurnya sudah jelas : hukum syara. Kewajiban menempati prioritas pertama, lalu aktivitas sun-nah (mandub), barulah aktivitas-aktivitas yang mubah (boleh). Dan dakwah merupakan poros kehidupannya. Artinya, prioritas pertama adalah dakwah. Segala aktivitas lainnya harus dalam rangka mendukung dakwah.
Banyak pengalaman, Anda juga tentu per-nah merasakannya, menunjukkan bahwa sering-kali aktivitas-aktivitas mubah perlu banyak diting-galkan. Jangan terlalu banyak menonton TV ! Itu salah satu saran yang bagus. Berita merupakan acara yang bagus dilihat di TV. Acara yang la yamutu (alias tidak bermutu) seperti sinetron, telenovela, atau sekedar goyang-goyang perlu dihindari. Begitu pula perkara-perkara yang tidak memberikan maslahat penting ditinggalkan. Bagi Anda yang masih bujangan, seringkali pembicara-an tentang akhwat sekedar mebuang waktu saja. Di rumah kost yang diobrolkan tentang akhwat, di mobil umum tema pembicaraan juga akhwat, se-tiap kali ada waktu luang topik akhwat senantiasa mendapat respon hangat. Setelah itu, selesailah sudah. Tanpa ada realisasinya. Bila ini yang ter-jadi, dapat dihitung sendiri berapa banyak waktu terbuang sia-sia. Padahal, waktu yang sudah berlalu tidak mungkin kembali dan mustahil diganti. Meninggalkan kesia-siaan tersebut, selain merupakan perintah Nabi saw., juga mengakibat-kan waktu banyak terbuang percuma. Rasulullah saw. bersabda :
مِنْ حُسْنِ اْلإِ سْلاَمِ الْمَرْعِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
"Diantara baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan apapun yang tidak berguna baginya.” (HR. Imam Turmudzi)
Dan salah satu ciri orang mukmin adalah meninggalkan laghwu, yaitu perkara yang sia-sia, seperti disebut pada awal-awal surat al-Muk-minun. Karenanya, kita jangan sampai kehilangan banyak waktu. Ironis memang, seseorang yang menjaga ketat sendal jepit yang dipakainya saat ke masjid agar tidak hilang tapi pada saat yang sama tidak merasa rugi kehilangan banyak waktu yang dilaluinya.
Ringkasnya, setiap hari kita perlu membia-sakan diri dengan menentukan prioritas dan ren-cana. Dengan kata lain, ada beberapa hal yang penting dilakukan, yaitu : (1) membuat perenca-naan secara spesifik dengan target yang juga spesifik, (2) melakukan apa yang telah direnca-nakan tersebut secara konsisten, (3) setiap kali melakukan aktivitas yang ditetapkan ditunaikan dengan penuh keikhlasan semata-mata ibadah kepada Allah swt., dan (4) terus memohon ke-kuatan dan pertolongan kepada Allah swt. serta dijauhkan dari segala jenis kemalasan.
Inilah sekilas landasan yang dapat dijadikan untuk menghilangkan penyakit menunda-nunda akti-vitas kebaikan. Hanya saja, kuncinya ada pada diri kita masing-masing. Sekali lagi, Andalah yang dapat mengusahakannya, bukan orang lain ! Penyakit ini sumbernya adalah diri masing-masing. ‘Tapi ‘kan sulit menghilangkannya?’ Benar, sulit, kecuali bagi mereka yang berupaya berjuang merubahnya. Tidak boleh siapapun berputus asa dari rahmat Allah swt. Dan salah satu rahmat-Nya adalah Dia akan menun-juki jalan pada orang yang benar-benar berjuang mengusahakannya.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjuang (mencari ke-ridlaan) Kami, benar-benar Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dang sesung-guhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-‘Ankabut [29] : 69)
Sekali lagi, menunda aktivitas adalah malapetaka. Aktivitas —apalagi tugas dan kewaji-ban— tetap harus ditunaikan, kapan pun. Sekarang harus dilakukan, nanti pun harus dilakukan. Ditang-guhkan atau tidak, tugas dan kewajiban tetap harus dilaksanakan. Bila demikian, untuk apa me-nunda-nunda perbuatan kalau toh nanti harus tetap dilakukan juga. Itulah prinsip yang penting dijadikan pakem diri sendiri. Khusus Anda yang pengemban dakwah, bila pengemban dakwahnya memiliki kebia-saan menunda-nunda aktivitas, bagaimana mungkin ia dapat mengubah masyarakat untuk segera bangkit menyingsingkan lengan baju —tanpa menunda-nun-da, segera tegak melangkah bersama menyongsong dilanjutkannya kehidupan Islam dalam Daulah Khila-fah Islamiyyah? Sementara musuh-musuh Islam secara kontinyu dan tanpa menunda-nunda terus menggempur Islam dan umatnya. Allah swt. Ber-firman :
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridla kepada engkau hingga engkau mengikuti golongan (millah) mereka.” (QS. al-Baqarah [2] : 120)
Bila demikian, masihkah akan menunda-nunda?.